Catur Wangsa vs Catur Warna
Dalam ajaran agama Hindu (agama mayoritas di Bali), setahu saya ajaran tentang kasta (Catur Wangsa) tidaklah ada, yang ada adalah Catur Warna
Sistem
Catur Warna “diubah” oleh Belanda yang dulu menjajah Indonesia, tujuannya yaitu
untuk memecah belah kekuatan di masyarakat, yaitu dengan semakin memperlebar
jarak antara Raja dan rakyatnya, memecah masyarakat ke dalam kelompok-kelompok
kasta, salah satu trik adu domba.
Itu
sedikit sejarah yang saya tahu. Lalu bagaimana dengan keadaan saat ini? Saat
ini masalah kasta tentu saja masih menjadi pro dan kontra. Ada yang masih
begitu fanatik dengan kasta namun ada juga yang bersikap biasa saja dan tidak
terlalu peduli masalah kasta.
Saat
ini bisa dikatakan kasta di Bali yang saya tahu terdiri dari 3 bagian yaitu :
- Golongan 1 : Ida Bagus dan lainnya
- Golongan 2 : Cokorda, Anak Agung, Gusti dan lainnya
- Golongan 3 : Tidak berkasta
Kasta
Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Dalam
kehidupan sehari-hari, pada umumnya mereka yang berkasta menggunakan bahasa
Bali halus untuk berkomunikasi dengan kasta yang selevel dan level di atasnya.
Sementara ketika berbicara dengan berkasta lebih rendah, yang memiliki kasta
lebih tinggi kadang dianggap bisa menggunakan bahasa yang biasa atau lebih
‘kasar’.
Dalam
kegiatan sosial masyarakat, mereka yang berkasta lebih tinggi juga biasanya
lebih dihormati, salah satunya ditunjukkan dengan bahasa seperti yang saya
katakan diatas. Apalagi mereka yang berkasta itu kebetulan secara ekonomi lebih
mampu alias kaya.
Tentu
tidak semua orang seperti itu, banyak juga mereka yang tidak berkasta namun
tetap dihormati. Dan kembali juga kepada masing-masing orang karena pada
kenyataannya tidak ada aturan yang mengharuskan seseorang hormat kepada mereka
yang berkasta.
Pernikahan
Dalam
urusan pernikahan, kasta sangat sering menimbulkan pro dan kontra bahkan kadang
menjadi masalah atau batu sandungan. Sama seperti pernikahan beda agama, di
Bali pernikahan beda kasta juga biasanya dihindari. Walaupun jaman sudah
semakin terbuka, tapi pernikahan beda kasta yang bermasalah kadang masih
terjadi.
Di
Bali umumnya pernikahan bersifat patrilineal. Jadi seorang perempuan setelah
menikah dan menjadi istri akan bergabung dengan keluarga suaminya. Nah, dalam
pernikahan beda kasta, seorang perempuan dari kasta yang lebih rendah sudah
biasa jika dijadikan istri oleh lelaki dari kasta yang lebih tinggi. Bahkan
pihak keluarga perempuan kadang ada rasa bangga.
Lalu
bagaimana jika seorang perempuan berkasta menikah dengan lelaki tidak berkasta
atau dengan lelaki yang kastanya lebih rendah? Ini istilahnya “nyerod” atau
turun kasta. Pernikahan seperti sangat dihindari dan kalaupun terjadi biasanya
dengan sistem “ngemaling” yaitu menikah dengan sembunyi-sembunyi. Karena
pernikahan “nyerod” seperti ini biasanya tidak akan diijinkan oleh keluarga
besar pihak perempuan.
Jadi
kalau mau mengikuti “tradisi” diatas, semakin tinggi kasta perempuan maka
semakin sempit pula peluang mereka untuk memilih jodoh (*ini kesimpulan pribadi
saya saja, hehe). Kasus “nyerod” sangat jarang, jadi jarang ada lelaki biasa
(tidak berkasta) memiliki istri yang berkasta.
Tapi
anehnya, dibandingkan dengan kasus “nyerod”, masyarakat sepertinya lebih
terbiasa dan bisa menerima melihat perempuan yang menikah dengan lelaki yang
bukan orang Bali/Hindu. Entahlah.
Oya,
sistem patrilineal ini juga menyebabkan orang Bali secara tidak langsung lebih
menginginkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Ya walaupun tidak semua
orang tua seperti itu.
Bagaimana
jika tidak memiliki anak laki-laki? Ada juga sistem pernikahan matrilineal. Yaitu pihak lelaki yang akan
bergabung dengan keluarga perempuan. Istilahnya “nyentana” atau “nyeburin”,
saat ini juga cukup lumrah terjadi.
Kalau
pernikahan “nyeburin” atau “nyentana” ini terjadi dalam satu tingkatan kasta
yang sama, biasanya tidak akan ada masalah. Tapi bagaimana kalau beda kasta?
Pernikahan “nyentana” dengan kasta berbeda sangat jarang terjadi, karena baik
“naik kasta” atau pun “turun kasta” akan terlihat aneh di masyarakat.
Misalnya
saja si Wayan yang “nyentana” yaitu menikah pihak perempuan yang berkasta, ini
sangat sulit. Pertama, pihak keluara perempuan biasanya tidak akan menerima.
Masyarakat di sekitar juga nanti bingung, apakah si Wayan akan naik kasta
menjadi berkasta seperti istrinya atau tetap tidak berkasta. Lalu ketika mereka
punya anak, apa kastanya? Ah, ribet.
Itu
yang “naik kasta”, lalu bagaimana dengan turun kasta? Misalnya seorang lelaki
berkasta menikah “nyentana” ke perempuan yang tidak berkasta. Berarti lelaki
tersebut akan kehilangan kastanya. Hal ini biasanya tidak akan diijinkan oleh
keluarga pihak lelaki. Jadi, berkaitan dengan kasta, pernikahan model
“nyentana” akan ribet kalau terjadi dengan berbeda kasta.
Nama
Nama
orang Bali pada umumnya memiliki kaitan erat dengan kasta, karena pada nama
orang Bali biasanya akan terlihat apa kastanya. Imbuhan kasta ini akan terlihat
di bagian awal nama. Saya sudah menulis khusus tentang keunikan nama orang
Bali, silahkan simak di link di bawah ini.
Nah
karena ada imbuhan kasta seperti, walaupun jarang namun ada juga yang mengeluh
karena nama menjadi cukup panjang. Belum lagi permasalahan yang timbul karena
adanya perbedaan nama kasta antara orang tua dan anaknya.
Tidak
seperti di daerah lain, di Bali umumnya seorang anak kastanya harus sama dengan
orang tuanya. Jadi seorang anak tidak boleh diberi nama dengan awalan “Anak
Agung” di depannya kalau orang tuanya bukan dari kasta tersebut.
Demikian
tulisan saya mengenai sistim kasta di daerah bali.
Apabilah
ada kesalah dalam penulisan saya memohan maaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar