Sabtu, 24 November 2012

konfllik sosial masyarakat lampung



2. konflik lampung
Kementerian Sosial menugaskan beberapa tenaga ahli untuk memetakan kondisi daerah konflik di Lampung Selatan. Sejumlah temuan ditelusuri, termasuk kemungkinan adanya ketimpangan dan kecemburuan sosial.

Tenaga Ahli Menteri Sosial, Sapto Waluyo menuturkan saat mendatangi daerah konflik desa Balinuraga dan Agom di kecamatan Way Panji, Lampung Selatan, masih melihat perbedaan kondisi ekonomi sehingga menimbulkan kecemburuan sosial yang tinggi.

"Masyarakat asli Lampung merasa kondisi sosial-ekonomi mereka jauh tertinggal dibanding kaum pendatang. Di samping itu, ada kelompok yang mempertahankan adat kebiasaannya dan tidak mau berbaur dengan lingkungan baru," ujarnya dalam rilis yang diterima detikcom, Jumat (2/11/2012).

Menurutnya sampai saat ini masih ada kelompok-kelompok kecil yang sulit untuk berbaur dengan lingkungan dan lebih mementingkan kelompok atau kebersamaan di dalaml kelompok, hal itu dapat menyebabkan insiden kecil menjadi membesar.
"Sehingga insiden kecil dapat memicu konflik komunal," ujarnya.

Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial, Syahabuddin, yang meninjau lokasi pengungsi di SPN Kemiling bersama Bupati Lampung Selatan, Ryco Menoza, mengatakan, daerah konflik di Lampung Selatan saat ini memasuki tanggap darurat.

"Saat ini kita memasuki masa tanggap darurat, proses penghentian kekerasan dan perlindungan terhadap korban dan pengungsi. Bersama Dinsos Provinsi Lampung kami menyiapkan shelter dan logistik," kata Syahabuddin.

Lebih lanjut ia mengatakan pihaknya akan mengerahkan puluhan tenaga relawan untuk membantu mengurus dapur umum di tenda-tenda pengungsian. "Kami kerahkan 40 Tagana yang mengurus dapur umum melayani 1.600 pengungsi," ujarnya.

Ditambahkan Dirjen Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan, Hartono Laras, nantinya Kementerian Sosial akan menggulirkan program keserasian sosial untuk mencegah konflik di masa depan.

"Dengan memperberdayakan masyarakat miskin agar tidak muncul kecemburuan. Dari situ ketahanan sosial dibangun," jelas Hartono

Sebelum konflik desa Balinuraga dan Agom pada 28-29 Oktober lalu, pada bulan Januari 2012 pernah terjadi bentrok serupa dan dilakukan perdamaian secara adat. Namun, nampaknya penyelesaian perdamaian tersebut hanya menyentuh kalangan muda dan akar rumputnya melainkan kalangan adat. Saat itu beberapa tokoh adat Lampung seperti Pangeran Margaratu, Pangeran Legun Tihang, Pangeran Dantaran Naga Bringsang, Pangeran Rajabasa, dan Pangeran Ratu Marga Katibung, bersama dengan komunitas Bali yang diwakilkan Parisada Hindu Dharma sempat dilakuan dialog lintas yang dirintis Gubernur Lampung Sjahroedin ZP belum mencapai kesepakatan bahkan dirinya sempat merencanakan mengundang Gubernur Bali untuk berembug mencari solusi.

sistim kasta pada masyarakat bali



Catur Wangsa vs Catur Warna
Dalam ajaran agama Hindu (agama mayoritas di Bali), setahu saya ajaran tentang kasta (Catur Wangsa) tidaklah ada, yang ada adalah Catur Warna
Sistem Catur Warna “diubah” oleh Belanda yang dulu menjajah Indonesia, tujuannya yaitu untuk memecah belah kekuatan di masyarakat, yaitu dengan semakin memperlebar jarak antara Raja dan rakyatnya, memecah masyarakat ke dalam kelompok-kelompok kasta, salah satu trik adu domba.
Itu sedikit sejarah yang saya tahu. Lalu bagaimana dengan keadaan saat ini? Saat ini masalah kasta tentu saja masih menjadi pro dan kontra. Ada yang masih begitu fanatik dengan kasta namun ada juga yang bersikap biasa saja dan tidak terlalu peduli masalah kasta.
Saat ini bisa dikatakan kasta di Bali yang saya tahu terdiri dari 3 bagian yaitu :
  • Golongan 1 : Ida Bagus dan lainnya
  • Golongan 2 : Cokorda, Anak Agung, Gusti dan lainnya
  • Golongan 3 : Tidak berkasta
Kasta Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Dalam kehidupan sehari-hari, pada umumnya mereka yang berkasta menggunakan bahasa Bali halus untuk berkomunikasi dengan kasta yang selevel dan level di atasnya. Sementara ketika berbicara dengan berkasta lebih rendah, yang memiliki kasta lebih tinggi kadang dianggap bisa menggunakan bahasa yang biasa atau lebih ‘kasar’.
Dalam kegiatan sosial masyarakat, mereka yang berkasta lebih tinggi juga biasanya lebih dihormati, salah satunya ditunjukkan dengan bahasa seperti yang saya katakan diatas. Apalagi mereka yang berkasta itu kebetulan secara ekonomi lebih mampu alias kaya.
Tentu tidak semua orang seperti itu, banyak juga mereka yang tidak berkasta namun tetap dihormati. Dan kembali juga kepada masing-masing orang karena pada kenyataannya tidak ada aturan yang mengharuskan seseorang hormat kepada mereka yang berkasta.
Pernikahan
Dalam urusan pernikahan, kasta sangat sering menimbulkan pro dan kontra bahkan kadang menjadi masalah atau batu sandungan. Sama seperti pernikahan beda agama, di Bali pernikahan beda kasta juga biasanya dihindari. Walaupun jaman sudah semakin terbuka, tapi pernikahan beda kasta yang bermasalah kadang masih terjadi.
Di Bali umumnya pernikahan bersifat patrilineal. Jadi seorang perempuan setelah menikah dan menjadi istri akan bergabung dengan keluarga suaminya. Nah, dalam pernikahan beda kasta, seorang perempuan dari kasta yang lebih rendah sudah biasa jika dijadikan istri oleh lelaki dari kasta yang lebih tinggi. Bahkan pihak keluarga perempuan kadang ada rasa bangga.
Lalu bagaimana jika seorang perempuan berkasta menikah dengan lelaki tidak berkasta atau dengan lelaki yang kastanya lebih rendah? Ini istilahnya “nyerod” atau turun kasta. Pernikahan seperti sangat dihindari dan kalaupun terjadi biasanya dengan sistem “ngemaling” yaitu menikah dengan sembunyi-sembunyi. Karena pernikahan “nyerod” seperti ini biasanya tidak akan diijinkan oleh keluarga besar pihak perempuan.
Jadi kalau mau mengikuti “tradisi” diatas, semakin tinggi kasta perempuan maka semakin sempit pula peluang mereka untuk memilih jodoh (*ini kesimpulan pribadi saya saja, hehe). Kasus “nyerod” sangat jarang, jadi jarang ada lelaki biasa (tidak berkasta) memiliki istri yang berkasta.
Tapi anehnya, dibandingkan dengan kasus “nyerod”, masyarakat sepertinya lebih terbiasa dan bisa menerima melihat perempuan yang menikah dengan lelaki yang bukan orang Bali/Hindu. Entahlah.
Oya, sistem patrilineal ini juga menyebabkan orang Bali secara tidak langsung lebih menginginkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Ya walaupun tidak semua orang tua seperti itu.
Bagaimana jika tidak memiliki anak laki-laki? Ada juga sistem pernikahan matrilineal. Yaitu pihak lelaki yang akan bergabung dengan keluarga perempuan. Istilahnya “nyentana” atau “nyeburin”, saat ini juga cukup lumrah terjadi.
Kalau pernikahan “nyeburin” atau “nyentana” ini terjadi dalam satu tingkatan kasta yang sama, biasanya tidak akan ada masalah. Tapi bagaimana kalau beda kasta? Pernikahan “nyentana” dengan kasta berbeda sangat jarang terjadi, karena baik “naik kasta” atau pun “turun kasta” akan terlihat aneh di masyarakat.
Misalnya saja si Wayan yang “nyentana” yaitu menikah pihak perempuan yang berkasta, ini sangat sulit. Pertama, pihak keluara perempuan biasanya tidak akan menerima. Masyarakat di sekitar juga nanti bingung, apakah si Wayan akan naik kasta menjadi berkasta seperti istrinya atau tetap tidak berkasta. Lalu ketika mereka punya anak, apa kastanya? Ah, ribet.
Itu yang “naik kasta”, lalu bagaimana dengan turun kasta? Misalnya seorang lelaki berkasta menikah “nyentana” ke perempuan yang tidak berkasta. Berarti lelaki tersebut akan kehilangan kastanya. Hal ini biasanya tidak akan diijinkan oleh keluarga pihak lelaki. Jadi, berkaitan dengan kasta, pernikahan model “nyentana” akan ribet kalau terjadi dengan berbeda kasta.
Nama
Nama orang Bali pada umumnya memiliki kaitan erat dengan kasta, karena pada nama orang Bali biasanya akan terlihat apa kastanya. Imbuhan kasta ini akan terlihat di bagian awal nama. Saya sudah menulis khusus tentang keunikan nama orang Bali, silahkan simak di link di bawah ini.
Nah karena ada imbuhan kasta seperti, walaupun jarang namun ada juga yang mengeluh karena nama menjadi cukup panjang. Belum lagi permasalahan yang timbul karena adanya perbedaan nama kasta antara orang tua dan anaknya.
Tidak seperti di daerah lain, di Bali umumnya seorang anak kastanya harus sama dengan orang tuanya. Jadi seorang anak tidak boleh diberi nama dengan awalan “Anak Agung” di depannya kalau orang tuanya bukan dari kasta tersebut.
Demikian tulisan saya mengenai sistim kasta di daerah bali.
Apabilah ada kesalah dalam penulisan saya memohan maaf.